sawitsetara.co – JAKARTA – Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) menghadiri pertemuan Focus Group Discussion (FGD) di Wyndham Hotel Jakarta, pada Selasa (12/08/2025). Pertemuan ini membahas tentang Disparitas antara Praktik dan Persyaratan European Union Deforestation Regulation (EUDR).
Adapun pertemuan ini ditaja oleh Institute for Development of Economics & Finance (INDEF) dan dihadiri APKASINDO, Staf Ahli Kementerian Koordinator Pangan (Kemenko Pangan), Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC), Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), dan lainnya.
Dalam pertemuan ini APKASINDO diwakili oleh Djono A Burhan, S.Kom, MMgt(Int. Bus), CC, CL selaku Head of International Relation DPP APKASINDO mewakili Ketua Umum yang diundang menjadi salah satu narasumber FGD. Dalam kesempatannya, Djono menyampaikan bahwa EUDR masih menjadi tantangan dalam industri kelapa sawit.
“Khususnya bagi petani kelapa sawit di seluruh Indonesia karena banyak dari regulasi-regulasi EUDR itu secara praktik masih sulit untuk diimplementasikan, salah satunya adalah traceability,” kata Djono dalam keterangannya kepada sawitsetara.co, Selasa.
Sebagai informasi, EUDR Adalah regulasi baru dari Uni Eropa (UE) bertujuan mencegah dan mengurangi deforestasi yang disebabkan oleh produk yang masuk ke pasar UE. Regulasi ini mewajibkan perusahaan untuk memastikan bahwa produk yang mereka perdagangkan, impor, atau ekspor ke UE tidak berasal dari lahan yang mengalami deforestasi atau degradasi hutan.
Djono menekankan “penting untuk selalu mengikutsertakan petani kelapa sawit terkhusus APKASINDO dalam setiap dialog kebijakan nasional dan internasional, sehingga suara petani sawit itu terwakili dan petani tidak merasa ditinggalkan, karena petani lah yang paling merasakan tiga dimensi keberlanjutan, yaitu ekonomi, sosial dan ekologi,” katanya.
Djono juga menyinggung keputusan EU Commission yang menunda pelaksanaan EUDR hingga Desember 2025. Penundaan ini berdampak positif pada harga crude palm oil (CPO) yang langsung naik. Di mana meningkatnya harga CPO juga berdampak positif bagi harga TBS petani kelapa sawit.
“Setiap permasalahan atau stigma yang terbentuk oleh regulasi-regulasi internasional dan juga nasional itu dampaknya paling terasa adalah oleh petani sawit. Karena petani kelapa sawit tidak bisa menekan ke mana-mana,” kata Djono.
Di satu sisi, kata Djono, petani sawit adalah tulang punggung perekonomian Indonesia yang memberikan devisa sangat besar bagi Tanah Air. Ia mengingatkan terlebih Indonesia baru saja melaksanakan perjanjian freetrade agreement yaitu Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA).
Menurut Djono, perjanjian ini sebenarnya merupakan angin segar. Apalagi pemerintah mengatakan akan ada lagi penambahan 1 juta ton ekspor CPO ekstra yang akan dikirim kepada EU. Dan juga, Kementerian Perdagangan mengatakan bahwa akan ada protokol khusus sawit yang akan menaungi trade antara Indonesia dan EU..
Menurut Djono, akan menjadi sebuah ironi apabila EU memberlakukan regulasi proteksionisme yang bernama EUDR untuk menyelamatkan petani-petani mereka, tapi di satu sisi dengan regulasi tersebut justru memberikan efek yang tidak baik kepada petani kelapa sawit.
“Ini adalah sebuah ironi, jadi kita stakeholder sawit di seluruh Indonesia harus bergandengan tangan sehingga tidak ada lagi regulasi yang merugikan petani kelapa sawit, karena petani kelapa sawit adalah tulang punggung perekonomian yang harus diperhatikan,” katanya.
Adapun Direktur Kerjasama Internasional INDEF Imaduddin Abdullah, PhD menyatakan bahwa sesungguhnya lebih dari 50% petani kelapa sawit belum mengetahui adanya regulasi EUDR tapi petani merasakan efek negatif dari regulasi ini, salah satunya penurunan harga TBS 1% sampai 9%.
“Jadi ini merupakan data yang penting, efek dari regulasi internasional yaitu sangat berdampak kepada petani,” katanya saat pembukaan diskusi.
Jur: Hendrik Khoirul
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *