sawitsetara.co – JAKARTA – Inovasi pertanian kembali lahir dari kolaborasi lintas negara. Institut Pertanian Bogor (IPB) bersama Wageningen University & Research (WUR) Belanda, Universitas Lambung Mangkurat (ULM), dan PT Citra Putra Kebun Asri (CPKA) memperkenalkan konsep baru bernama Koronisasi.
Istilah ini merujuk pada sistem tumpang sari kelapa sawit dengan kacang koro dan padi IPB 9G yang dirancang untuk meningkatkan produktivitas lahan replanting sekaligus memperkuat ketahanan pangan. Hal tersebut diungkapna anggota tim penelitian IPB Prof DR Sudrajat.
Menurutnya, program ini merupakan bagian dari kerja sama Indonesia–Belanda bertema SustainPalm: Kelapa Sawit Berkelanjutan. Tujuannya mendukung produksi minyak sawit yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
“Salah satu strateginya adalah memanfaatkan masa belum menghasilkan (TBM) sawit dengan menanam tanaman pangan bernilai ekonomi, sehingga petani tetap mendapatkan penghasilan tambahan,” kata Prof Sudrajat.
Kacang Koro: Kunci Keberhasilan Sistem
Nama Koronisasi diambil dari kacang koro, tanaman yang menjadi elemen kunci dalam sistem ini. Koro mampu tumbuh optimal di lahan replanting dan menghasilkan biji berkualitas.
Lebih dari itu, lanjut Prof Sudrajat, koro memiliki kemampuan membentuk bintil akar yang memfiksasi nitrogen, memperbaiki struktur tanah, meningkatkan porositas, dan memperbesar kapasitas tanah menyimpan air.
“Dalam penerapannya, kacang koro ditanam terlebih dahulu sebelum padi. Tahap ini bertujuan memperbaiki kondisi fisik dan kimia tanah. Pengalaman lapangan menunjukkan bahwa penanaman padi langsung tanpa pendahuluan koro di lahan replanting sering gagal, terutama karena tanah miskin unsur hara,” katanya.
Uji coba sistem tumpang sari sawit–koro dimulai Februari 2023 hingga Februari 2025 di Desa Jorong, Kabupaten Tanah Laut. Tahap berikutnya, tumpang sari sawit–padi, berlangsung dari April hingga 23 Juli 2025.
Hasilnya cukup memuaskan: produktivitas kacang koro mencapai 2,5–3 ton per hektare dengan penggunaan pupuk minimal, sementara padi IPB 9G menghasilkan sekitar 3 ton per hektare. Potensi ini diyakini masih bisa meningkat jika gangguan hama, seperti walang sangit, dapat dikendalikan.
“Keberhasilan ini menunjukkan bahwa tumpang sari sawit dengan koro dan padi IPB 9G bukan hanya mungkin dilakukan, tapi juga menguntungkan,” ujarnya.
Manfaat Ganda: Pangan dan Pakan
Anggota tim IPB lainnya, Prof Nahrowi menambahkan, manfaat kacang koro tidak hanya untuk perbaikan lahan. Biji koro mengandung protein tinggi (25–27%) sehingga berpotensi sebagai bahan baku pakan ternak.
“Setelah diolah sebagai pakan ternak, biji koro juga bisa menjadi bahan pangan, seperti tempe koro dan camilan koro goreng. Potensi ekonominya sangat besar,” ujar Prof Nahrowi.
Sementara itu, keberhasilan penanaman padi IPB 9G di lahan sawit TBM 1–2 membuka peluang besar bagi pengembangan tumpang sari sawit–padi di areal replanting. Sistem ini memungkinkan petani memanfaatkan lahan secara produktif sebelum sawit mulai menghasilkan buah.
Petani lokal, H. Sariman, mengaku terkesan melihat padi dapat tumbuh baik meskipun ditanam pada akhir musim hujan, periode yang biasanya tidak ideal. “Kami berencana menanam padi IPB 9G di 3 hektare lahan pada musim hujan mendatang,” katanya.
Dari sisi perusahaan, dukungan juga datang penuh. Ir. Eko, Manajer PT CPKA, mengatakan keberhasilan uji coba tumpang sari sawit–padi seluas 1,5 hektare mendorong pihaknya memperluas area tanam hingga 10 hektare.
“Panen padi nantinya akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan internal perusahaan dengan harga 20–25% lebih murah dari harga pasar,” kata Eko.
Sejalan dengan Program Peremajaan Sawit Rakyat
Menurut Prof Nahrowi, model Koronisasi dinilai sangat sesuai dengan Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Selama masa belum menghasilkan, petani bisa memperoleh pendapatan tambahan dari panen kacang koro dan padi.
“Untuk memperluas dampak positifnya, diperlukan dukungan kemitraan melalui pendekatan Penta-Helix yang melibatkan akademisi, pemerintah, dunia usaha, masyarakat, dan media,” katanya.
Dengan hasil yang menjanjikan, Koronisasi berpotensi menjadi terobosan penting dalam optimalisasi lahan sawit pascaremajakan, menggabungkan produktivitas ekonomi dengan keberlanjutan lingkungan dan ketahanan pangan nasional.
Selain Prof Sudrajat dan Prof Nahrowi, , tim IPB juga ada Dr Hariyadi dan Dr Suria Tarigan yang turut terlibat aktif dalam penelitian tersebut.
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *