sawitsetara.co – Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) sejak digulirkan 2017, setiap tahunnya tidak pernah mencapai target luasannya karena persyaratan mendapatkan dana PSR tersebut cukup ketat dan selektif.
Namun ketat dan selektifnya persyaratan untuk mendapatkan dana PSR dari BPDP atas rekomendasi dari Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjendbun), tidak di iringi dengan tata cara penunjukan rekanan (kontraktor) pelaksana PSR tersebut oleh kelembagaan petani penerima dana PSR.
Masalah ini dianggap cukup serius terkait dengan kompetensi kontraktor yang mengerjakan PSR tersebut. Fenomena munculnya perusahaan-perusahaan baru dan sering melakukan "ganti baju" perusahaan, baik berbentuk CV maupun PT, hanya untuk satu atau dua kali pengerjaan PSR, lalu berganti nama tapi manajemennya orang yang sama juga.
Keberadaan munculnya perusahaan-perusahaan baru yang tidak berpengalaman ini berbanding terbalik dengan para kontraktor yang sudah berpengalaman di sektor PSR. Banyak di antaranya tidak menjadi rekanan pelaksana PSR lagi karena kalah bersaing yang justru bukan dari sisi teknis pengalaman tapi dikarenakan ‘tawaran menggiurkan’ yang datang dari “perusahaan jadi-jadian” tadi, selain itu juga penawaran yang tidak sesuai SOP good agricultural practices (GAP).
Hasil penelusuran tim redaksi sawitsetara.co, ditemukan modus dan indikasi pengelakan pajak (PPN) dari rekanan atau perusahaan yang baru didirikan tersebut. Perusahaan yang baru berdiri tersebut dipastikan bukan PKP (perusahaan/pengusaha kena pajak). Jadi kewajiban kepada negara dalam bentuk pajak ini yang di “olah” dan dijanjikan kepada pihak penerima dana PSR (koperasi, poktan atau gapoktan) yang sudah tandatangan tiga pihak. Tentu jika sudah PKP hal seperti ini tidak akan terjadi karena adanya pengwasan dari direktorat pajak Kementerian Keuangan.
Sayangnya aturan tentang wajib PKP bagi rekanan PSR belum diatur oleh BPDP maupun Ditjenbun dan kondisi ini sangat merugikan negara akibat akal-akalan kontraktor yang suka tukar nama perusahaan baru untuk mengelak kewajiban pajak.
Hasil penelusuran tim redaksi juga diketahui, bahwa pekerjaan yang dikerjakan oleh perusahaan rekanan jadi-jadian tadi rata-rata bermasalah hukum saat pengerjaan dan pasca pengerjaan dan ini menjadi salah satu penyebab mengapa banyak PSR gagal pasca tanda tangan tiga pihak.
Program PSR sendiri merupakan inisiatif pemerintah yang bertujuan untuk mendukung petani sawit untuk replanting dengan menyediakan dana PSR sebesar Rp60 juta per hektare dari Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP).
Menanggapi masalah ini, Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) mengusulkan agar BPDP dan Ditjenbun segera melakukan perubahan melalui penambahan aturan dalam kontrak perjanjian tiga pihak antara bank, petani, dan BPDP. Salah satu usulan utama adalah mewajibkan agar kontraktor pelaksana PSR harus berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Dengan demikian, kewajiban pajak kepada negara tidak bisa dihindari lagi.
Dr. Ir. Gulat ME Manurung, M.P., CIMA, C.APO, Ketua Umum DPP APKASINDO, dalam pernyataannya mengatakan, "Kami mengusulkan agar BPDP dan Ditjendbun segera memasukkan ketentuan bahwa hanya perusahaan yang berstatus PKP, terdaftar di Ditjendbun dan memiliki pengalaman minimum 5 tahun yang bisa mengerjakan proyek PSR. Ini penting agar pajak negara tidak bisa dihindari dan program ini tidak disalahgunakan oleh perusahaan-perusahaan yang tidak bertanggung jawab." Tegasnya.
Dr. Gulat juga menambahkan pentingnya rekanan pelaksana PSR terdaftar di Ditjenbund dan tersertifikasi, sebagaimana rekanan penangkar bibit sawit PSR wajib tersertifikasi dan terdaftar di BABEBUN.
"Kami melihat bahwa risiko kegagalan dalam pelaksanaan PSR bisa diminimalisir jika perusahaan yang mengerjakan PSR tersertifikasi dari segi pengalaman kerja dan tidak berganti-ganti ‘baju’ setiap tahun hanya untuk menghindari kewajiban pajak. Hal ini merupakan langkah darurat yang harus segera dilaksanakan oleh Ditjendbun dan BPDP."
Kami dari asosiasi sudah cukup sering menerima laporan kegagalan PSR pasca tandatangan tiga pihak semua bermula dari rekanan pelaksana PSR yang tidak memiliki kompetensi bidang PSR dan selalu menabur janji-janji manis ke pengurus kelembagaan petani penerima dana PSR yang pada akhirnya menjadi temuan auditor dan aparat penegak hukum, tutup Dr Gulat.
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *