sawitsetara.co – JAKARTA – Tahun ini, ekspor minyak sawit mentah (CPO) berisiko turun hingga 1,5 juta ton menurut proyeksi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), sebuah tren yang dinilai dapat mengganggu rencana pemerintah menjalankan program mandatori biodiesel 50 persen (B50) pada 2026.
Ketua Umum GAPKI, Eddy Martono, menjelaskan bahwa pendanaan program B50 selama ini bersumber dari pungutan ekspor (PE) CPO. Dengan tren produksi minyak sawit yang cenderung stagnan, ia meminta pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan tersebut.
“Kalau dengan kondisi produksi seperti saat ini akan sulit, karena ekspor pun ada kecenderungan turun. Sedangkan B50 akan dibiayai dari pungutan ekspor sawit,” ujar Eddy.
Berdasarkan data GAPKI, produksi CPO Indonesia pada 2024 mencapai 52 juta ton, dengan konsumsi domestik sebesar 23,8 juta ton atau 45,2% dari total produksi. Tahun ini, produksi diproyeksikan naik tipis menjadi 53,6 juta ton, namun ekspor diperkirakan turun menjadi 27,5 juta ton pada 2025.
Penurunan ekspor ini otomatis akan berdampak pada besaran pungutan ekspor, yang selama ini menjadi sumber utama pembiayaan subsidi biodiesel.
Lebih lanjut terkait dengan B50, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Eniya Listiani Dewi mengatakan, pemerintah tengah mematangkan aturan baru melalui Peraturan Menteri (Permen) No. 4 yang akan mengatur pengembangan bahan bakar nabati secara menyeluruh. Regulasi ini mencakup biodiesel, bioetanol, bioavtur, hingga hydrotreated plant oil (HPO).
“Bioenergi menjadi kunci transisi, terutama di sektor transportasi dan industri. Namun, kita harus pastikan kesiapan infrastruktur dan pasokan, terutama CPO, sebelum B50 dijalankan,” kata Eniya.
Menurut Eniya, kebutuhan bahan bakar untuk B50 diperkirakan mencapai 20 juta kiloliter per tahun, naik dari kebutuhan B40 yang sekitar 15 juta kiloliter. Hal ini berarti alokasi minyak sawit mentah (CPO) untuk biodiesel harus ditambah sekitar 2 juta ton. “Kalau komposisi B50 menggunakan 50% FAME, kebutuhan FAME bisa mencapai 20 juta ton, naik 5 juta ton dari B40,” jelas Eniya.
Eniya menambahkan, Indonesia membutuhkan tambahan lima pabrik biodiesel baru berkapasitas besar untuk mendukung implementasi B50. “Tiga pabrik sudah dalam tahap pembangunan, tapi kita masih perlu lima pabrik tambahan, masing-masing dengan kapasitas minimal 1 juta kiloliter,” ungkap Eniya.
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *